Pendidikan,

April 01, 2020 Khairil Asnan Haedar 0 Comments

Teori Pembelajaran

Kognitivistik

1.      Kognivistik Sebagai Pandangan Baru dalam Psikologi Pendidikan

Manusia merupakan makhluk yang sangat kompleks luar maupun dalam, dengan artian dalam merespon sesuatu manusia melibatkan bukan hanya faktor-faktor eksternal melainkan perpaduan antara faktor eksternal dan faktor dalam (kognisi) yang terus berkembang seiring bertambahnya. Dalam perpaduannya, faktor kognisi lebih berperan dan sangat bergantung pada insight (pemahaman mendalam akan sesuatu). Insight akan berkembang seiring dengan bertambahnya usia serta pengalaman seseorang sehingga kasus demi kasus yang telah dihadapinya akan terhubung satu dengan yang lainnya membentuk suatu hubungan yang kompleks (Winataputra, 2007).

Premis dasar berkembangnya teori kognitif berpijak pada ketidakpuasan ahli terhadap pandangan bahwa belajar merupakan proses hubungan stimulus-response-reinforcement. Para ahli jiwa berpendapat bahwa tingkah laku manusia dipengaruhi oleh insight yang sangat kompleks menjadi suatu pondasi dalam menentukan perilaku seorang pembelajar (Soemanto, 2012).
Pada dasarnya, apabila perilaku manusia hanya berpaku pada stimulus eksternal, maka manusia akan menjadi seperti arah angin yang akan hanya terus mengikuti arah gerak angin secara konstan. Faktanya, manusia memiliki kemampuan self-reflective dan self-reactive yang dapat mengontrol pikiran, perasaan, motivasi, dan aksinya. Dalam keseharian, manusia dapat “menetapkan” beberapa standar perilaku yang akan diadopsi menjadi suatu panduan dan motivasi dan mengatur perilakunya (respon) (Bandura & Dale, 1981).
Sebagaimana yang dapat diamati, manusia bukan hanya melihat mekanisme internal yang di atur oleh alam. Manusia merupakan agen pengalaman, bukan hanya mengalami pengalaman tersebut. System sensorik, motoric, dan otak adalah alat-alat yang digunakan manusia dalam menyelesaikan tugas dan tujuan yang akan memberikan makna, arah, dan kepuasan tertentu pada hidupnya (Harre & Gillet, 1994).
Melalui pengaturan motivasi dan aktivitas, manusia menghasilkan pengalaman yang akan membentuk substrat fungsi neurobiologis dari symbolisasi, social, psikomotorik, dan kecakapan lainnya. Sifat alamiah dari pengalaman ini tentunya sangat terikat dengan tipe social dan fisik lingkungan yang dipilih dan dibangun manusia. Suatu agen perspektif yang menumbuhkan garis wawasan baru dalam kajian konstruksi social dari struktur fungsional otak manusia (Eisenberg, 1995).

2.      Social Cognitivism Albert Bandura

Albert Bandura adalah salah seorang tokoh psikologi yang menyebutkan bahwa keyakinan memiliki kemampuan untuk mengelola dan melakukan tindakan untuk mencapai tujuan dengan istilah efikasi diri. Efikasi diri berkaitan erat dengan konsep diri, harga diri, dan locus of control. Dalam teori social kognitif, efikasi diri merupakan faktor krusial bagi seseorang, rendahnya efikasi dalam diri seseorang akan menyebabkan rendahnya kepercayaan dirinya dan berkorelasi langsung dalam meningkatkan kecemasan dan perilaku menghindar seseorang. Hal demikian bukanlah sebab dari ancaman, melainkan rendahnya kepercayaan diri yang akan membuat orang tersebut tidak mempunyai kecakapan dalam mengelola aspek-aspek yang beresiko (Bandura, 1997).
Albert Bandura dan Richard Walters (1959, 1963) dalam Mustafa (2011) menyatakan bahwa peniruan yang dilakukan seorang anak akan tetap membentuk regulasi-diri bahkan bila hal tersebut tidak diiringi dengan adanya penguatan (reinforcement). Kuncinya adalah proses alamiah meniru suatu model, hal demikian dinamakan “observational learning”.
Lebih lanjut, bandura  (1997) dalam Rustika (2012) menyatakan bahwa belajar observasional ditentukan oleh empat sub-proses, yaitu: (a) Proses attentional, proses ini menentukan apa yang diseleksi untuk diamati; (b) proses retention, proses ini berhubungan dengan proses representasi kognitif; (c) proses production, dalam proses ini konsep diterjemahkan ke dalam tindakan yang sesuai; dan (d) proses motivational, beberapa hal yang menentukan proses ini: external incentives, vicarious incentives, self-incentives, dan observer attributes. Dalam meningkatkan motivasi seseorang, dalam hal ini peserta didik, Bandura (1997) menyatakan bahwa beberapa cara dapat ditempuh, seperti persuasi verbal, yaitu informasi yang sengaja diberikan kepada orang yang akan diubah efikasi dirinya dengan cara seperti memberi dorongan semangat serta pembelajaran dengan metode tutor. Suatu penelitian yang dilakukan oleh Arjanggi dan Titin (2010) mengemukakan bahwa adanya peningkatan regulasi-diri (self-regulation) saat membelajarkan dengan menggunakan metode pembelajaran tutor sebaya.
Bandura dalam Hall, dkk (2002) mengemukakan ada empat komponen dalam proses observational learning, yaitu:
1. Attention process; sebelum melakukan peniruan atau modeling, individu menaruh perhatian terhadap model yang akan ditiru.
2. Retention process; setelah memperhatikan, mengamati model tersebut kemudian disimpan dalam bentuk simbol-simbol (tidak hanya diperoleh melalui pengamatan visual, melainkan juga melalui verbalisasi) yang suatu saat digunakan dalam bentuk peniruan tingkah laku. 
3. Motor Reproduction Process; supaya bisa mereproduksi tingkah laku secara tepat, seseorang harus sudah bisa memperlihatkan kemampuan-kemampuan motorik. Kemampuan motorik meliputi kekuatan fisik.
4. Ulangan-Penguatan dan Motivasi (motivational processes); untuk memperlihatkan tingkah laku dalam kehidupan nyata tergantung pada kemauan dan motivasi. Selain itu perlu pengulangan perbuatan agar memperkuat ingatannya dan bisa memperlihatkan tingkah laku hasil meniru model.
Lingkungan atau pengaruh social berperan sebagai model, strategi instruksi atau umpan balik (elemen lingkungan untuk siswa) dapat berpengaruh pada faktor pribadi siswa seperti tujuan, kepekaan efikasi untuk tugas, atribusi (keyakinan sukses atau gagal) dan proses regulasi diri seperti perencanaan, monitor diri dan kendali terhadap gangguan Model interaksi antara lingkungan, individu, dan perilaku merupakan interaksi timbal balik yang saling menentukan sehingga pada proses tersebut regulasi-diri terjadi (Schunk dalam Woolfolk, 2007).
Mendukung pernyataan Schunk di atas, menurut Kirsh (2003) berdasarkan penelitiannya, kecenderungan chaos pada remaja dipengaruhi oleh adanya “peak” yang terjadi saat awal masa remajanya. Peak yang dimaksudkan adalah suati introduksi yang mengandung chaos seperti seringnya remaja tersebut memainkan game yang penuh dengan kekerasan sehingga game tersebut menjadi suatu model yang akan ditiru seorang anak bahkan akan terus bertahan dalam jangka waktu yang lama bila tidak segera diberikan treatment yang dapat menormalkannya kembali.
Merupakan hal yang sangat penting dalam menempatkan seorang anak dalam lingkungan yang sesuai, terutama hal demikian dimulai pada tingkat keluarga inti (nuclear family). Maka sedapat mungkin keluarga memanfaatkan kondisi ini dengan memposisikan diri menjadi sumber belajar yang efektif bagi anak, memberikan pengalaman dan pelajaran yang berharga bagi anak. Tugas ini memang tidak gampang. Dengan kata lain, menjadi model yang patut ditiru bagi anak tidaklah mudah. Perlu skill dan wawasan yang luas tentang pendidikan anak usia dini (Rolina, 2006).

Referensi

Arjanggi, R. & Titin S. 2010. Metode Pembelajaran Tutor Teman Sebaya Meningkatkan Hasil Belajar Berdasarkan Regulasi-Diri. Makara. Sosial Humaniora. 14(2): 91-97.

Bandura, A. (1997). Self-Efficacy The Exercise of Control. New York: W.H. Freeman and Company.

Bandura, A., & Dale, H.S. 1981. Cultivating Competence, Self-Efficacy, and Intrinsic Interest Through Proximal Self-Motivation. Journal of Personality and Physiology. 41(3): 586-598.

Eisenberg L. 1995. The social construction of the human brain. Am. J. Psychiatry. 152:1563–75

Hall, dkk. 2002. “Teori-teori Sifat dan Behavioristik” dalam “Psikologi Kepribadian 3 (Editor Dr. A. Supratiknya)”. Cetakan ke-10 (Terjemahan). Kanisius. Yogyakarta.

Harr´e R, Gillet G. 1994. The Discursive Mind. Thousand Oaks. CA: Sage

Kirsh, S.J. 2003. The Effects of Violent Video Games on Adolescents The Overlooked Influence of Development. Aggression and Violent Behavior. Vol 8. Pp: 377-389.

Mustafa, H. 2011. Perilaku Manusia Dalam Perspektif Psikologi Sosial. Jurnal Administrasi Bisnis. 7(2): 143-156.

Rolina, N. 2006. Keluarga: Sebagai Sumber Belajar Pada Pendidikan Anak Usia Dini (Suatu Tinjauan Menurut Teori Sosial Kognitif Bandura). Majalah Ilmiah Pembelajaran. 2(2): 207-216.

Rustika, I.M. 2012. Efikasi Diri: Tinjauan Teori Albert Bandura. Buletin Psikologi. 20(1-2): 18-25.

Soemanto, W. 2012. Psikologi Pendidikan. Rineka Cipta: Jakarta.

Winataputra, U.S. 2007. Teori Belajar dan Pembelajaran. Penerbit Universitas Terbuka: Jakarta.

Woolfolk, A. (2007). Educational Psychology. USA: Pearson Education Inc.

0 comments: